Sabtu, 23 Februari 2013

Finding Love Childhood


“Pi, kita nanti di pantai main istana pasir ya?” Ajak seorang anak kecil manis sambil menarik-narik kerah kemeja papinya.
“Iya Vi. Sekarang biarkan papi konsentrasi menyetir dulu.” Sela mami.
“Pi, nanti Viona juga diajak main ya? Jangan cuma Viola aja!” Pinta anak manis yang satunya sambil mengguncang-guncang bahu papinya.
“Viona, Viola jangan ganggu papi dong sayang, biar papi konsentrasi menyetir.” Omel mami pada dua anak kembarnya itu. Dua anak kembar itu bukannya malah mengindahkan perintah maminya, mereka malah terus mengganggu papi mereka yang sedang menyetir. Sampai akhirnya, ketika papi mereka tidak melihat sebuah truk yang kehilangan kendali dengan kecepatan tinggi tengah mengarah ke mobil mereka. Dan akhirnya… ciiiiiiiiiiiiiiit…. bruuuuuuuuuuuuuk…..

*****
11 Tahun Kemudian…
“Viona, Viola ayo cepat kalian sarapan. Nanti papi bisa kesiangan!” Teriak papi.
          “Iya pi.” Sahutku seraya melangkah keluar kamar.
          “Loh Viona mana? Kalian berdua ini kalau dandan lama sekali. Nanti papi bisa kesiangan.” Omel papi.
          “Haduu, yang bikin lama itu Viona pi. Masak kaca di kamar yang besar itu dia pakai sendiri. Mana, sampai sekarang dia belum selesai lagi.” Ucapku sambil mengoleskan selai ke roti panggangku.
          “Harusnya kamu tiru si Viona, kamu itu cewek harusnya dandan dong. Nah lihat kamu, dari ujung rambut sampai ujung kaki kusut semua.” Sahut mami yang baru saja keluar dari dapur.
          “Kok mami malah belain si Viona sih? Justru gara-gara dia aku sama papi jadi kesiangan. Lihat aja sampai sekarang dia belum selesai juga.” Rutukku.
          “Udah udah, yang penting sekarang kamu habisin sarapan kamu dulu. Papi tunggu kamu sama Viona di mobil.” Jelas papi.
          “Oke pi.” Jawabku seraya menyuap potongan terakhir rotiku.
*****
          Aku tiba di sekolah tepat saat bel masuk berbunyi, dan semua itu karena Viona yang terlalu sibuk dengan aksesorisnya. Aku menyusuri koridor dengan langkah cepat karena jam pertama hari ini adalah pelajaran biologi. Guru biologi punya peraturan bahwa barangsiapa siswa yang datang terlambat, maka akan mendapat hukuman. Untung saja sewaktu aku memasuki ruang kelasku, ternyata guru tersebut belum masuk ke kelas.
          Baru saja aku bernafas lega, ternyata masalah yang lebih besar sedang menghadangku. Aku lupa mengerjakan tugas biologi. Dan yang lebih parah, disaat aku baru saja menyadari kesalahanku, guru biologi telah masuk ke dalam kelas. Mati aku, pekikku dalam hati. Baru saja aku akan memikirkan alasan tentang kenapa aku tidak mengerjakan tugas, ternyata guru tersebut telah memanggil namaku.
          “Viola Anastasya. Bawa buku tugas kamu ke depan!” Perintah Bu Ratih, sang guru biologi.
          “Iy…Iya bu.” Jawabku terbata seraya berjalan ke arah meja Bu Ratih.
          “Loh mana buku kamu?”
          “Anu bu, saya…saya…”
          “Kenapa? Kamu belum mengerjakan?” Selidik Bu Ratih.
          “Emm…Saya lupa bu.” Jawabku pelan.
          “Kamu lupa? Apa kamu tau tugas ini sudah dari 2 minggu lalu? Dan dengan gampangnya kamu bilang lupa?” Bentak Bu Ratih.
          “2 minggu ini saya sibuk persiapan untuk lomba piano antar SMP se-propinsi bu.”
          “Ohh, jadi menurut kamu lomba piano itu jauh lebih penting daripada tugas dari saya? Iya?”
          “Bu..Bukan begitu mak” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Bu Ratih telah berdiri kemudian menarikku keluar kelas menuju lapangan.
          “Kamu sekarang berdiri disini dengan hormat ke arah bendera sampai bel istirahat berbunyi.” Tegas Bu Ratih.
          “Tapi bu” Rengekku.
          “Tidak ada tapi-tapian Viola, kamu bersalah dan harus dihukum. Kamu tahu kan kalau saya tidak suka menerima segala bentuk alasan. Semakin kamu beralasan, semakin berat hukuman kamu. Mengerti?” Jelas Bu Ratih.
          “Mengerti bu.” Jawabku pasrah.
          Setelah kepergian Bu Ratih, aku semakin merutukki kesalahanku sendiri. Andai saja tadi aku tidak datang terlambat, pasti aku bisa mengerjakan tugas itu di kelas sebelum bel berbunyi. Dan semua itu karena cewek yang super duper cerewet dan menyebalkan, yaitu Viona. Ditengah-tengah saat aku masih merutukki kesalahanku, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang sedang mengejekku. Dan sepertinya aku tahu siapa pemilik suara itu.
          “Oh ternyata yang lagi dihukum sama Bu Ratih itu Princess Rainbow Wanna Be!” Ucap si cowok tengil dengan nada yang sok lugu.
          “Mau apa sih elo kesini segala? Bikin gue makin badmood aja.” Omelku sebal.
          “Gue kesini itu mau nemenin elo, gue kasihan aja lihat elo kepanasan disini sendirian.” Ucapnya santai seraya merangkulkan tangannya ke pundakku.
          “Dasar cowok sinting. Siapa juga yang mau elo temenin.” Bentakku seraya melepaskan rangkulan tangannya dari pundakku.
          “Ohh begitu, atau jangan-jangan elo minta ditemenin sama Prince Rainbow yang bakalan datang sehabis hujan buat nyelametin elo itu ya?” Ejeknya dengan seulas senyum mengejek yang terlihat jelas mengembang diwajahnya. Ingin rasanya aku menampar wajahnya saat itu juga, namun aku urungkan niatku itu.
          “Elo tuh nggak tau apa-apa, so nggak usah sok tau soal gue. Ngerti?” Bentakku seraya mengacungkan telunjukku ke arah wajahnya.
          “Kata siapa gue nggak tau apa-apa. Gue tau segalanya kok. Dan gue berani taruhan kalau gue tahu elo melebihi elo tahu diri elo sendiri.” Jawabnya yakin.
          “Maksud elo apaan sih? Mending elo pergi sekarang, atau gue laporin elo ke Bu Ratih karena udah gangguin gue!” Ancamku.
          “Hmm gimana ya? Laporin aja deh, biar gue sekalian dihukum dan bisa nemenin elo disini.” Ucapnya santai.
          Dasar cowok sinting. Kali ini kesabaranku sudah benar-benar habis, akhirnya aku memutuskan untuk diam dan tidak akan menanggapi semua yang keluar dari mulutnya. Pasti hari ini akan jadi hari yang panjang karena aku harus dihukum dan berdiri di sebelah cowok sinting ini dan segala ocehannya yang sangat amat tidak penting.
*****
          Teng…Teng…Teng…
          Bel istirahat pun berbunyi, itu tandanya hukumanku sudah berakhir. Dan yang paling penting aku bisa segera pergi menjauhi cowok sinting yang sedang berdiri di sebelahku dengan menatapku lekat-lekat. Saat aku baru saja melangkahkan kakiku untuk ke kantin, tiba-tiba tangan cowok itu menarikku dan kemudian berkata.
          “Mau kemana? Gue anterin ya?” Ucapnya sok perhatian.
          “Gue mau kemana itu bukan urusan elo dan gue juga nggak minat buat elo anterin!” Jawabku jutek seraya melepaskan tanganku dari genggamannya.
          “Nggak. Semua urusan elo sekarang jadi urusan gue juga.” Tegasnya seraya mempererat genggaman tangannya.
          “Maksud elo apaan sih? Emang elo siapa ngatur-ngatur hidup gue? Nyokap-Bokap gue aja nggak pernah ngatur-ngatur gue.” Bentakku sambil terus memberontak untuk melepas genggaman tangannya.
          Tanpa menjawab pertanyaanku, cowok itu langsung menarikku menuju kantin. Saat kami berdua memasuki kantin, semua mata menatap kami lekat. Cowok itu lalu memilih tempat duduk di sudut ruangan dan kemudian memesan dua botol teh yang dingin.
          “Elo kenapa sih kok diem aja? Cepetan dong diminum, nanti keburu udah nggak dingin.” Ujarnya membuka percakapan. Tapi aku tak sedikitpun berniat untuk menjawab pertanyaannya apalagi untuk meminum minuman yang telah dipesannya. Sekarang ini yang aku inginkan hanyalah seseorang yang mampu menyelamatkan aku dari cowok sinting ini.
          “Elo sakit ya Vi? Apa perlu gue anter ke UKS?” Tanyanya lagi. Tapi aku tetap membisu dan tak ingin menjawab pertanyaannya. Seribu kalipun cowok sinting itu bertanya, seribu kali pula aku akan membisu. Tiba-tiba aku mendengar seorang cewek memanggil namaku.
          “Vi, elo ngapain disini?” Tanya Viona seraya matanya melirik cowok sinting di sebelahku seolah-olah bertanya ngapain dia sama elo.
          “Ehh, ada Viona. Yaudah Viola, kalau gitu gue tinggal dulu, kan sekarang elo udah ada yang nemenin. Gue balik ke kelas dulu ya Vi, Vio.” Ucapnya seraya berpamitan kepada aku dan Viona. Tanpa basa-basi, setelah cowok sinting itu pergi Viona langsung mengintrogasiku mengapa cowok sinting itu bersamaku.
          “Vi, kok elo nggak cerita sih?” Omel Viona.
          “Emang cerita apaan? Dongeng Putri Salju?” Tanyaku bingung.
          “Haduu, ya soal elo sama Petir ada hubungan apa.” Ucap Viona bersemangat.
          “Maksud elo? Gue sama cowok sinting tadi itu nggak ada hubungan apa-apa, jangan ngaco deh.” Jawabku kesal.
          “Nah terus ngapain kalian berduaan disini?” Tanya Viona dengan tampang yang super lugu.
          “Berduaan gimana? Disini banyak orang gini kok berduaan.”
          “Maksud gue kenapa elo bisa satu meja sama Petir.”
          “Soal itu ceritanya panjang, gue lagi males cerita sekarang. Nanti kalau udah pulang aja ya?” Bujukku kepada Viona.
          “Tapi beneran cerita ya? Awas kalau nggak.” Ancam Viona.
          “Iya deh, tapi kalau inget.” Jawabku malas.
*****
          Begitu tiba di rumah, aku langsung membanting tubuhku ke kasur. Hari ini benar-benar menyita banyak waktu dan tenagaku, huft. Tanpa aku sadari, ternyata Viona sudah duduk disebelahku, sepertinya dia ingin bicara serius.
“Vi, gimana ceritanya soal elo sama Petir?” Tanya Viona bersemangat.
          “Haduu Vio, elo kok masih inget sih. Gue aja udah lupa.”
          “Udah itu nggak penting, yang penting itu kenapa elo bisa duduk semeja sama Petir, padahal setahu gue kalian berdua kan kayak anjing sama kucing yang nggak pernah bisa akur.”
          “Kasih tau nggak ya?” Jawabku seraya menggoda Viona.
          “Aaaaaah Viola, cerita dooong. Tadi elo kan udah janji buat cerita.” Rengek Viona seraya mengguncang-guncangkan tubuhku.
          “Kapan gue janji? Orang gue bilang kalau inget kok.” Elakku.
          Viona terus memaksaku dengan berbagai ancaman dan ocehan panjang lebar yang keluar dari mulutnya. Akhirnya aku pun menyerah dan menceritakan semuanya kepada Viona, karena aku tahu Viona akan terus memaksaku sampai aku mengaku. Dan itu juga salah satu kelebihan Viona, yaitu memaksa seseorang untuk menceritakan rahasianya. Mungkin daripada Viona menjadi model, ia lebih cocok untuk menjadi detektif.
          Cowok sinting yang sedari tadi di sekolah terus mengikutiku bernama Petir. Ia adalah cowok paling menyebalkan dan yang paling suka mencampuri urusan orang lain. Bertemu bahkan mengenalnya tidak pernah terpikir dalam benakku, bisa dibilang semua itu karena kecelakaan.
          Kesan pertama saat kami bertemu sudah sangat tidak mengenakkan. Pada saat itu di sekolah diadakan pesta malam perpisahan dan kenaikan kelas, disaat aku mengambil minuman tiba-tiba ada seorang cowok yang berlari ke arahku kemudian menyenggol minuman yang sedang aku pegang sehingga menumpahi gaun putihku. Tanpa meminta maaf ia langsung pergi seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Kemudian disaat aku menuju kamar mandi untuk membersihkan gaunku, cowok itu kembali menabrakku dan menginjak kakiku keras yang kemudian membuat hak sepatuku patah. Setelah itu ia kembali pergi meninggalkanku yang masih terheran-heran karena untuk kedua kalinya ia tidak meminta maaf atas kesalahan fatal yang telah ia perbuat.
          Yang kedua, ternyata keesokan harinya sewaktu pembagian kelas aku harus sekelas dengan cowok menyebalkan itu. Dan baru saja seminggu aku sekelas dengannya, ia telah berani membuka buku catatanku yang berisi impianku untuk bertemu pangeran impian yang muncul dari balik pelangi. Yang lebih parah, ia lalu menyebarkan impianku itu kepada seluruh siswa di sekolahku, kemudian mulai saat itu ia memanggilku dengan sebutan Princess Rainbow Wanna Be. Dan masih banyak lagi kejahilan serta kesintingan yang ia lakukan untuk membuatku malu. Dan mulai saat itu aku putuskan untuk tidak akan pernah berdamai atau bahkan berteman dengan cowok sinting yang bernama Petir itu.
          “Mungkin si Petir suka sama elo Vi.” Ucap Viona tiba-tiba yang langsung membuatku kaget.
          “Apa sih maksud elo? Orang jelas-jelas dia itu pengen gue malu.” Bantahku.
          “Ya sekarang elo pikir deh, kenapa dia mau nemenin elo panas-panasan sambil hormat ke bendera kalau bukan karena dia suka sama elo?” Jelas Viona.
          “Mungkin dia lagi cari perhatian sama guru-guru, biar dia dikira murid teladan sekaligus setia kawan.”
          “Bisa jadi sih. Tapi coba elo pikir-pikir omongan gue soal Petir itu suka sama elo, karena menurut gue alasan itu lebih masuk akal.”
          “Ngapain coba gue harus mikir soal cowok sinting itu. Mau dia suka sama gue atau nggak, nggak bakalan gue hirauin juga kali.”
          “Ya terserah elo aja deh Vi. Yang jelas gue udah kasih tau elo, mau elo percaya atau nggak.” Ucap Viona pasrah.
*****
          Aku melangkah menyusuri koridor dengan langkah berat, karena mataku masih sangat berat untuk dibuka. Aku semalam memang tidak tidur, karena aku masih memikirkan soal omongan Viona tentang Petir. Ditengah-tengah aku mengumpulkan segenap kesadaranku, saat aku melewati segerombolan siswi, aku mendengar beberapa anak berbicara bahwa aku dan Petir sedang berpacaran. Spontan, aku langsung tersadar bahwa sepanjang koridor yang aku lewati tadi semua anak membicarakan soal kejadian kemarin siang di kantin saat Petir menggandeng tanganku mesra. Disaat aku merutuki kejadian kemarin dalam hati, tiba-tiba ada yang memanggilku.
          “Viola!” Serunya.
          “Petir!” Aku memekik tidak percaya.
          Baru saja aku akan melarikan diri, ia berhasil membaca gerakanku yang kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Ia menarikku menuju taman belakang sekolah. Aku meronta berusaha keras melepaskan diri. Namun semakin keras aku berusaha, semakin keras pula Petir menggenggam tanganku. Akhirnya aku pun pasrah, karena aku tahu saat ini aku hanya bisa menurut padanya. Kemudian ia mengajakku duduk di salah tahu bangku di taman.
          “Ngapain sih elo ngajak gue kesini? Lepasin gue sekarang!” Bentakku. Namun Petir tidak bereaksi. Ia malah terpaku menatapku lekat-lekat.
          “Elo kenapa sih? Lepasin gue!” Bentakku lagi seraya berusaha melepaskan genggaman tangannya. Namun ia tetap tidak bereaksi. Petir malah menarikku menuju dekapannya, ia memelukku erat. Dalam beberapa saat aku terpaku melihat apa yang dilakukan Petir, aku pun larut dalam dekapannya. Aku merasakan ketenangan dan kenyamanan dalam dekapan Petir. Kemudian Petir berbisik lirih di telingaku.
          “Aku sangat sayang kamu Vi. Dari dulu sampai hari ini” Ucap Petir. Saat itu aku tersadar, dan aku kembali meronta untuk melepas pelukan Petir, namun kali ini Petir membiarkan aku lepas dari pelukannya. Aku menatap mata Petir yang ternyata baru saja menitikkan air mata. Aku heran melihat Petir seperti ini, ada apa ini sebenarnya. Aku memutuskan untuk berlari menjauhi Petir dengan berbagai pertanyaan berputar-putar dalam kepalaku. Sementara Petir masih diam terpaku di tempatnya sambil matanya mengikuti arah kepergianku.
*****
          Setelah kejadian tadi pagi di taman belakang, aku lebih memilih untuk berdiam diri di kelas untuk menghindari Petir. Aku takut kalau ternyata Petir sudah menyebarkan kejadian tadi pagi kepada seluruh siswa di sekolah. Dan kalaupun aku bertemu Petir aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apa mungkin aku masih bisa bersikap biasa setelah apa yang dilakukan Petir terhadapku tadi pagi.
          Diluar perkiraanku, ternyata Petir tidak menyebarkan kejadian tadi pagi. Karena kalau Petir sudah menyebarkannya, pasti Viona sudah bertanya yang macam-macam padaku. Selain itu, setelah kejadian tadi pagi aku belum melihat batang hidung Petir sama sekali. Entahlah, mungkin Petir merasa malu jikalau harus bertemu denganku atau ia memang sengaja menghindariku agar aku tidak bisa mencaci makinya atas apa yang telah ia lakukan padaku tadi pagi.
*****
          Tiga bulan kemudian …
          Hari ini adalah hari yang paling aku tunggu, karena hari ini adalah pelaksanaan lomba piano antar SMP se-propinsi. Aku merasa sangat gugup, karena untuk yang pertama kalinya aku akan menunjukkan keahlian bermain pianoku dalam acara sebesar ini. Papi, mami dan Viona telah duduk di kursi undangan untuk menunggu giliranku tampil. Sesaat kemudian sang MC telah memanggil namaku untuk segera naik ke atas panggung. Dengan perasaan bercampur aduk, aku mulai menaiki tangga di belakang panggung. Aku duduk di depan piano yang akan aku mainkan dan aku mulai menekan tuts-tuts piano dengan perlahan. Samar-samar aku mendengar suara kekaguman penonton disela-sela konsentrasiku.
          Permainan pianoku pun ditutup dengan diiringi riuhnya tepuk tangan penonton yang membahana di dalam gedung itu. Sebelum turun dari panggung, aku memberikan salam hormat kepada para penonton dan juri. Aku juga sempat melihat kilatan bahagia bercampur bangga dari wajah papi, mami serta Viona. Namun disaat aku melihat ke arah penonton, sempat terselip rasa kecewa dalam benakku. Entah mengapa, tapi aku merasa bahwa seseorang yang aku harapkan tidak hadir malam ini. Seseorang yang tiga bulan lalu sempat berbisik lirih di telingaku, sebelum akhirnya ia hilang entah kemana. Sesaat setelah kepergiannya, aku merasa ada yang hilang dari hatiku. Sesuatu yang sangat kecil yang bahkan aku tidak tahu apa ini. Tapi yang jelas, sesuatu yang sangat kecil ini telah mampu menggoyahkan benteng yang selama ini aku bangun dengan kuat dan kokoh.
          Akhirnya pengumuman pemenang lomba pun dibacakan, meskipun aku belum bisa menjadi juara pertama, tapi syukurlah aku bisa mendapat juara kedua. Dan yang paling penting aku bangga karena juara kedua ini aku peroleh dengan hasil kerja kerasku selama ini. Selain itu papi, mami serta Viona juga bangga denganku. Menurut papi menang atau kalah dalam suatu perlombaan itu biasa, justru dalam mengikuti perlombaan yang kita butuhkan itu bukan gelar juaranya melainkan pengalamannya.
*****
          Sinar mentari menyeruak memasuki kamarku melalui celah-celah kecil di antara tirai. Pagi itu papi berangkat lebih pagi, jadi terpaksa aku dan Viona harus pergi ke sekolah dengan menaiki angkutan umum. Aku dan Viona memutuskan untuk berangkat lebih pagi, agar sewaktu nanti berada di dalam bus tidak harus berdesak-desakan. Setiba kami di halte bus dekat sekolah, Viona menatapku serius kemudian bertanya.
          “Vi, akhir-akhir ini kok elo murung sih?” Tanya Viona.
          “Murung? Prasaan elo aja kali.” Elakku
          “Enggak Vi, akhir-akhir ini elo emang murung. Ada apa sih? Apa gara-gara..” Viona menggantung kalimatnya.
          “Gara-gara apa?”
          “Gara-gara… Petir kan?” Ucap Viona ragu-ragu.
          “Ngaco lo. Emang apa hubungan gue sama tu anak, sampek-sampek gue murung gara-gara dia. Ihh, nggak banget deh Vio.” Elakku sambil berlalu meninggalkan Viona yang berjalan pelan di belakangku.
          Mulai saat itu Viona berhenti bertanya soal alasanku menjadi murung. Tapi aku tau, disaat Viona berubah pendiam seperti itu, pasti dia sedang melakukan observasi dan merencanakan sesuatu. Oleh karena itu, akhir-akhir ini aku menjadi lebih waspada pada Viona. Sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu alasanku menjadi murung seperti ini. Apa mungkin yang dikatakan Viona itu benar? Aku murung karena cowok tengil yang sangat menyebalkan itu? Tapi bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Aku rasa ini hanya karena aku kemarin gagal untuk menjadi juara pertama dalam lomba piano antar SMP se-propinsi. Ya, semoga hanya karena itu walau sebenarnya aku juga tidak yakin.
*****
          Tidak terasa sudah tiga tahun aku bersekolah di SMP Tunas Bangsa, dan hari ini adalah hari wisuda sekaligus hari perpisahan. Viona baru saja selesai dirias, kini saatnya aku yang akan dirias. Viona terlihat sangat cantik dan anggun dibalut dengan kebaya putihnya. Kadang-kadang aku merasa iri dengan Viona yang selalu terlihat cantik dan anggun dalam keadaan apapun, terutama hari ini. Untung saja wajah kami berdua sama persis, jadi jika Viona cantik, otomatis aku juga pasti cantik.
          Aku memasuki gedung wisuda dengan perasaan bercampur aduk. Antara senang karena aku telah berhasil menyelesaikan ujian nasional dengan sukses, tapi disisi lain aku juga sedih karena harus berpisah dengan teman-temanku. Tadi mami juga sempat berkata padaku, memang sekarang rasanya sedih karena harus berpisah dengan teman-teman yang sudah 3 tahun bersama kita, tapi toh di SMA kita juga akan dapat teman-teman baru lagi, dan biasanya kebanyakan teman-teman SMA juga teman-teman SMP kita kan.
          Banyak teman-temanku yang pangling melihatku, dari tadi mereka terus menyapaku dengan sebutan Viona. Padahal jelas-jelas ini Viola bukan Viona, menyebalkan. Tapi setelah aku melihat bayangan diriku di cermin toilet, memang saat ini aku benar-benar sama persis dengan Viona. Bahkan aku sendiri tidak mengenali bayangan siapa yang ada di cermin itu. Apakah itu benar-benar bayanganku? Gadis belia yang selama ini selalu terlihat kusut dan dekil, tiba-tiba berubah menjadi seorang putri yang anggun dan cantik jelita.
*****
          Setelah acara wisuda tadi pagi, malamnya dilanjutkan dengan acara perpisahan. Tapi setelah wisuda selesai, kami diperkenankan untuk pulang dan berganti baju. Malam ini aku dan Viona memakai dress yang sama, hanya saja warnanya yang berbeda. Viona memilih warna merah hati, sementara aku memilih warna coklat muda. Sebenarnya mami menyuruh kami untuk pergi ke salon, tapi karena waktu yang sangat sempit, Viona memilih untuk merias diri sendiri. Sementara aku, ya seperti yang kalian tahu kalau aku sama sekali tidak tahu menahu masalah rias merias, jadi terpaksa aku harus menurut untuk dirias mami.
          Viona memilih untuk mengurai rambut panjangnya, dan ia nampak begitu, uhm mempesona. Sementara mami memilih untuk mengikat ekor kuda rambutku. Sekarang aku tau darimana Viona mendapat bakat rias merias, yaitu dari mamiku. Mami tersenyum puas begitu melihat hasil riasannya. Riasan mami memang sederhana dan natural, tapi bisa membuat aku terlihat lebih cantik dan mempesona pastinya. Begitu selesai, aku dan Viona langsung berangkat menuju gedung perpisahan diantar oleh supir pribadi keluarga kami, Pak Amir.
*****
Malam perpisahan
Suasana malam perpisahan ini begitu ramai, semua siswa terlihat menikmati malam terakhir bersama teman mereka masing-masing, salah satunya adalah aku. Setelah cukup lama bercanda bersama teman-teman dan mulai merasa haus, aku memutuskan untuk pergi mengambil minuman. Saat aku melewati taman belakang, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Disana tampak sebuah ayunan dengan dikelilingi hiasan bunga mawar berwarna-warni. Tanpa kusadari, ternyata kakiku telah melangkah menuju ayunan itu. Setelah aku semakin dekat dengan ayunan itu, aku baru sadar ternyata hiasan bunga yang mengelilingi ayunan itu berbentuk love. Aku semakin tertarik dengan pemandangan yang ada disekelilingku ini.
Aku duduk di ayunan itu, kemudian mataku melihat ke arah langit. Tampak bulan bersinar dengan terangnya diantara bintang-bintang kecil yang berkerlap-kerlip di sekitarnya. Aku merasa jika semua yang aku lihat sekarang ini seperti pernah aku rasakan, sejenis déjà vu. Tapi ini terasa sangat nyata, seperti secuil memori yang sempat hilang dalam otakku, namun tetap tersimpan rapat dalam benakku. Aku terus berusaha mengingat-ingat, tapi lagi-lagi aku tidak berhasil mengingatnya. Disaat aku terus berusaha mengingat-ingat, tiba-tiba sebuah suara berat yang sangat aku kenal dan yang selama ini selalu aku rindukan memanggil namaku.
“Viola..” Ucapnya lembut.
Aku menoleh. Disaat aku melihat siapa pemilik suara itu, jantungku serasa berhenti berdetak, nafasku seakan-akan tercekat, tapi aku juga bisa merasakan desir-desir bahagia mengalir di dalam pembuluh darahku. Aku bingung serta terpaku menatap sosok tinggi dan manis yang ada dihadapanku ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan setelah hampir setengah tahun berpisah dengannya, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku sangat senang melihatnya kembali lagi kesini, kembali lagi hadir di dalam hidupku, dan kembali lagi untuk menjawab semua pertanyaan yang selama ini hanya mampu aku simpan di dalam benakku.
“Vi, kok elo bengong? Elo nggak lupa siapa gue kan?” Tanyanya.
“Ehh enggak enggak. Gue heran aja kenapa elo tiba-tiba ada disini.” Jawabku seraya terus menatap sosok yang ada dihadapanku ini, yaitu Petir.
“Tumben lo nggak sewot sama gue Vi.” Ucap Petir santai dengan menyunggingkan bagian atas bibirnya.
“Lagi males.” Jawabku singkat yang kemudian beralih memandang langit lagi.
“Vi, elo cantik banget malam ini.” Pujinya.
“Apaan sih elo, jangan gombal. Oh ya, selama ini elo kemana aja?” Tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
“Gue lagi menenangkan diri. Soalnya gue nggak sanggup kalau harus tetap disini sementara orang yang gue sayang nggak pernah sadar kalau gue sayang sama dia. Dianya malah selalu jutek dan marah-marah mulu sama gue.” Jelasnya seraya menatap lekat mataku dengan tatapan yang nanar. Tiba-tiba Petir mendekat ke arahku, kemudian ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aku merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Petir. Kemudian Petir mengajakku untuk duduk di ayunan.
“Kamu suka nggak sama hiasan bunga yang aku pasang di sekitar ayunan ini?” Tanya Petir dengan mulai ber-aku-kamu.
“Oh jadi kejutan ini dari kamu, makasih ya, aku suka banget. Tapi aku kayaknya udah pernah ngerasain ini sebelumnya, tapi aku nggak inget kapan itu.” Jelasku sambil mengingat-ingat. Tiba-tiba Petir menitikkan air mata, lalu memelukku erat. Aku bingung kenapa ini? Aku jadi ingat kejadian di taman belakang sekolah 6 bulan yang lalu, disaat Petir tiba-tiba memelukku dan menangis. Begitu Petir melepaskan pelukannya, aku langsung meminta penjelasan darinya.
Akhirnya Petir menjelaskan alasan atas sikap dan perlakuannya padaku selama ini. Ternyata aku adalah teman masa kecil Petir yang telah hilang selama beberapa tahun, sampai akhirnya sewaktu SMP takdir kembali mempertemukan kami. Sewaktu kecil, aku dan Petir sangat suka bermain di ayunan dengan ditemani sinar bulan dan kerlap-kerlip bintang. Petir juga suka memberikan aku rangkaian bunga yang dibentuk mahkota atau kalung. Dan yang paling mencenangkan, Petir telah mencintaiku semenjak kami masih kecil bahkan sampai saat ini. Petir selalu menganggap bahwa aku adalah cinta pertama dan terakhirnya. Oleh karena itu, setelah ia bertemu denganku kembali, rasanya ia sangat bahagia. Namun disisi lain ia juga sedih, disaat ia tahu kalau aku amnesia setelah kecelakaan 11 tahun lalu yang menyebabkan aku melupakan semua tentang dirinya dan kenangan indah kami dimasa kecil.
“Vi, aku tau ingatan kamu belum kembali. Tapi aku pasti akan membantu kamu buat mengingat semua kenangan indah kita dimasa kecil dulu.” Ucapnya yakin.
“Makasih ya Petir, maaf kalau selama ini aku sering jutek dan marah-marah sama kamu.” Ucapku lirih.
“Iya, aku nggak pernah marah sama kamu kok. Vi, ada satu hal yang belum aku tanyakan sama kamu. Kamu mau enggak mewujudkan mimpiku, untuk menjadikan kamu cinta pertama dan terakhirku?” Tanyanya ragu.
“Pasti Petir. Sebenarnya aku juga sayang sama kamu, tapi atas dasar gengsi dan kebodohanku, aku jadi sering menyangkal perasaanku sendiri.” Jawabku yakin.
“Makasih ya Vi, aku bahagia banget.” Ucapnya seraya memelukku erat.
“Iya, aku juga bahagia banget.” Jawabku dengan wajah yang bersemu merah.
Di bawah sinar terang bulan dan kerlap-kerlip berjuta-juta bintang di langit, Petir menenggelamkan aku dalam erat dekapannya, seakan ia tak ingin kehilangan aku untuk yang kedua kalinya. Dan akhirnya kami berdua pun larut dalam suasana hangat itu, melepaskan semua rindu yang selama ini membelenggu di dalam hati kami berdua.


*TAMAT*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar