“Pi, kita nanti di
pantai main istana pasir ya?” Ajak seorang anak kecil manis sambil
menarik-narik kerah kemeja papinya.
“Iya Vi. Sekarang
biarkan papi konsentrasi menyetir dulu.” Sela mami.
“Pi, nanti Viona
juga diajak main ya? Jangan cuma Viola aja!” Pinta anak manis yang satunya
sambil mengguncang-guncang bahu papinya.
“Viona, Viola
jangan ganggu papi dong sayang, biar papi konsentrasi menyetir.” Omel mami pada
dua anak kembarnya itu. Dua anak kembar itu bukannya malah mengindahkan
perintah maminya, mereka malah terus mengganggu papi mereka yang sedang
menyetir. Sampai akhirnya, ketika papi mereka tidak melihat sebuah truk yang
kehilangan kendali dengan kecepatan tinggi tengah mengarah ke mobil mereka. Dan
akhirnya… ciiiiiiiiiiiiiiit…. bruuuuuuuuuuuuuk…..
*****
11 Tahun Kemudian…
“Viona, Viola ayo
cepat kalian sarapan. Nanti papi bisa kesiangan!” Teriak papi.
“Iya
pi.” Sahutku seraya melangkah keluar kamar.
“Loh
Viona mana? Kalian berdua ini kalau dandan lama sekali. Nanti papi bisa
kesiangan.” Omel papi.
“Haduu,
yang bikin lama itu Viona pi. Masak kaca di kamar yang besar itu dia pakai
sendiri. Mana, sampai sekarang dia belum selesai lagi.” Ucapku sambil
mengoleskan selai ke roti panggangku.
“Harusnya
kamu tiru si Viona, kamu itu cewek harusnya dandan dong. Nah lihat kamu, dari
ujung rambut sampai ujung kaki kusut semua.” Sahut mami yang baru saja keluar
dari dapur.
“Kok
mami malah belain si Viona sih? Justru gara-gara dia aku sama papi jadi
kesiangan. Lihat aja sampai sekarang dia belum selesai juga.” Rutukku.
“Udah
udah, yang penting sekarang kamu habisin sarapan kamu dulu. Papi tunggu kamu
sama Viona di mobil.” Jelas papi.
“Oke
pi.” Jawabku seraya menyuap potongan terakhir rotiku.
*****
Aku
tiba di sekolah tepat saat bel masuk berbunyi, dan semua itu karena Viona yang
terlalu sibuk dengan aksesorisnya. Aku menyusuri koridor dengan langkah cepat
karena jam pertama hari ini adalah pelajaran biologi. Guru biologi punya
peraturan bahwa barangsiapa siswa yang datang terlambat, maka akan mendapat hukuman.
Untung saja sewaktu aku memasuki ruang kelasku, ternyata guru tersebut belum
masuk ke kelas.
Baru
saja aku bernafas lega, ternyata masalah yang lebih besar sedang menghadangku.
Aku lupa mengerjakan tugas biologi. Dan yang lebih parah, disaat aku baru saja
menyadari kesalahanku, guru biologi telah masuk ke dalam kelas. Mati aku,
pekikku dalam hati. Baru saja aku akan memikirkan alasan tentang kenapa aku
tidak mengerjakan tugas, ternyata guru tersebut telah memanggil namaku.
“Viola
Anastasya. Bawa buku tugas kamu ke depan!” Perintah Bu Ratih, sang guru
biologi.
“Iy…Iya
bu.” Jawabku terbata seraya berjalan ke arah meja Bu Ratih.
“Loh
mana buku kamu?”
“Anu
bu, saya…saya…”
“Kenapa?
Kamu belum mengerjakan?” Selidik Bu Ratih.
“Emm…Saya
lupa bu.” Jawabku pelan.
“Kamu
lupa? Apa kamu tau tugas ini sudah dari 2 minggu lalu? Dan dengan gampangnya
kamu bilang lupa?” Bentak Bu Ratih.
“2
minggu ini saya sibuk persiapan untuk lomba piano antar SMP se-propinsi bu.”
“Ohh,
jadi menurut kamu lomba piano itu jauh lebih penting daripada tugas dari saya?
Iya?”
“Bu..Bukan
begitu mak” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Bu Ratih telah berdiri
kemudian menarikku keluar kelas menuju lapangan.
“Kamu
sekarang berdiri disini dengan hormat ke arah bendera sampai bel istirahat
berbunyi.” Tegas Bu Ratih.
“Tapi
bu” Rengekku.
“Tidak
ada tapi-tapian Viola, kamu bersalah dan harus dihukum. Kamu tahu kan kalau
saya tidak suka menerima segala bentuk alasan. Semakin kamu beralasan, semakin
berat hukuman kamu. Mengerti?” Jelas Bu Ratih.
“Mengerti
bu.” Jawabku pasrah.
Setelah
kepergian Bu Ratih, aku semakin merutukki kesalahanku sendiri. Andai saja tadi
aku tidak datang terlambat, pasti aku bisa mengerjakan tugas itu di kelas
sebelum bel berbunyi. Dan semua itu karena cewek yang super duper cerewet dan
menyebalkan, yaitu Viona. Ditengah-tengah saat aku masih merutukki kesalahanku,
tiba-tiba aku mendengar suara seseorang sedang mengejekku. Dan sepertinya aku
tahu siapa pemilik suara itu.
“Oh
ternyata yang lagi dihukum sama Bu Ratih itu Princess Rainbow Wanna Be!” Ucap
si cowok tengil dengan nada yang sok lugu.
“Mau
apa sih elo kesini segala? Bikin gue makin badmood aja.” Omelku sebal.
“Gue
kesini itu mau nemenin elo, gue kasihan aja lihat elo kepanasan disini
sendirian.” Ucapnya santai seraya merangkulkan tangannya ke pundakku.
“Dasar
cowok sinting. Siapa juga yang mau elo temenin.” Bentakku seraya melepaskan
rangkulan tangannya dari pundakku.
“Ohh
begitu, atau jangan-jangan elo minta ditemenin sama Prince Rainbow yang bakalan
datang sehabis hujan buat nyelametin elo itu ya?” Ejeknya dengan seulas senyum
mengejek yang terlihat jelas mengembang diwajahnya. Ingin rasanya aku menampar
wajahnya saat itu juga, namun aku urungkan niatku itu.
“Elo
tuh nggak tau apa-apa, so nggak usah sok tau soal gue. Ngerti?” Bentakku seraya
mengacungkan telunjukku ke arah wajahnya.
“Kata
siapa gue nggak tau apa-apa. Gue tau segalanya kok. Dan gue berani taruhan
kalau gue tahu elo melebihi elo tahu diri elo sendiri.” Jawabnya yakin.
“Maksud
elo apaan sih? Mending elo pergi sekarang, atau gue laporin elo ke Bu Ratih
karena udah gangguin gue!” Ancamku.
“Hmm
gimana ya? Laporin aja deh, biar gue sekalian dihukum dan bisa nemenin elo
disini.” Ucapnya santai.
Dasar
cowok sinting. Kali ini kesabaranku sudah benar-benar habis, akhirnya aku
memutuskan untuk diam dan tidak akan menanggapi semua yang keluar dari
mulutnya. Pasti hari ini akan jadi hari yang panjang karena aku harus dihukum
dan berdiri di sebelah cowok sinting ini dan segala ocehannya yang sangat amat
tidak penting.
*****
Teng…Teng…Teng…
Bel
istirahat pun berbunyi, itu tandanya hukumanku sudah berakhir. Dan yang paling
penting aku bisa segera pergi menjauhi cowok sinting yang sedang berdiri di
sebelahku dengan menatapku lekat-lekat. Saat aku baru saja melangkahkan kakiku
untuk ke kantin, tiba-tiba tangan cowok itu menarikku dan kemudian berkata.
“Mau
kemana? Gue anterin ya?” Ucapnya sok perhatian.
“Gue
mau kemana itu bukan urusan elo dan gue juga nggak minat buat elo anterin!”
Jawabku jutek seraya melepaskan tanganku dari genggamannya.
“Nggak.
Semua urusan elo sekarang jadi urusan gue juga.” Tegasnya seraya mempererat
genggaman tangannya.
“Maksud
elo apaan sih? Emang elo siapa ngatur-ngatur hidup gue? Nyokap-Bokap gue aja
nggak pernah ngatur-ngatur gue.” Bentakku sambil terus memberontak untuk
melepas genggaman tangannya.
Tanpa
menjawab pertanyaanku, cowok itu langsung menarikku menuju kantin. Saat kami
berdua memasuki kantin, semua mata menatap kami lekat. Cowok itu lalu memilih
tempat duduk di sudut ruangan dan kemudian memesan dua botol teh yang dingin.
“Elo
kenapa sih kok diem aja? Cepetan dong diminum, nanti keburu udah nggak dingin.”
Ujarnya membuka percakapan. Tapi aku tak sedikitpun berniat untuk menjawab
pertanyaannya apalagi untuk meminum minuman yang telah dipesannya. Sekarang ini
yang aku inginkan hanyalah seseorang yang mampu menyelamatkan aku dari cowok
sinting ini.
“Elo
sakit ya Vi? Apa perlu gue anter ke UKS?” Tanyanya lagi. Tapi aku tetap membisu
dan tak ingin menjawab pertanyaannya. Seribu kalipun cowok sinting itu
bertanya, seribu kali pula aku akan membisu. Tiba-tiba aku mendengar seorang
cewek memanggil namaku.
“Vi,
elo ngapain disini?” Tanya Viona seraya matanya melirik cowok sinting di
sebelahku seolah-olah bertanya ngapain
dia sama elo.
“Ehh,
ada Viona. Yaudah Viola, kalau gitu gue tinggal dulu, kan sekarang elo udah ada
yang nemenin. Gue balik ke kelas dulu ya Vi, Vio.” Ucapnya seraya berpamitan
kepada aku dan Viona. Tanpa basa-basi, setelah cowok sinting itu pergi Viona
langsung mengintrogasiku mengapa cowok sinting itu bersamaku.
“Vi,
kok elo nggak cerita sih?” Omel Viona.
“Emang
cerita apaan? Dongeng Putri Salju?” Tanyaku bingung.
“Haduu,
ya soal elo sama Petir ada hubungan apa.” Ucap Viona bersemangat.
“Maksud
elo? Gue sama cowok sinting tadi itu nggak ada hubungan apa-apa, jangan ngaco
deh.” Jawabku kesal.
“Nah
terus ngapain kalian berduaan disini?” Tanya Viona dengan tampang yang super
lugu.
“Berduaan
gimana? Disini banyak orang gini kok berduaan.”
“Maksud
gue kenapa elo bisa satu meja sama Petir.”
“Soal
itu ceritanya panjang, gue lagi males cerita sekarang. Nanti kalau udah pulang
aja ya?” Bujukku kepada Viona.
“Tapi
beneran cerita ya? Awas kalau nggak.” Ancam Viona.
“Iya
deh, tapi kalau inget.” Jawabku malas.
*****
Begitu
tiba di rumah, aku langsung membanting tubuhku ke kasur. Hari ini benar-benar
menyita banyak waktu dan tenagaku, huft. Tanpa aku sadari, ternyata Viona sudah
duduk disebelahku, sepertinya dia ingin bicara serius.
“Vi, gimana ceritanya
soal elo sama Petir?” Tanya Viona bersemangat.
“Haduu
Vio, elo kok masih inget sih. Gue aja udah lupa.”
“Udah
itu nggak penting, yang penting itu kenapa elo bisa duduk semeja sama Petir,
padahal setahu gue kalian berdua kan kayak anjing sama kucing yang nggak pernah
bisa akur.”
“Kasih
tau nggak ya?” Jawabku seraya menggoda Viona.
“Aaaaaah
Viola, cerita dooong. Tadi elo kan udah janji buat cerita.” Rengek Viona seraya
mengguncang-guncangkan tubuhku.
“Kapan
gue janji? Orang gue bilang kalau inget kok.” Elakku.
Viona
terus memaksaku dengan berbagai ancaman dan ocehan panjang lebar yang keluar
dari mulutnya. Akhirnya aku pun menyerah dan menceritakan semuanya kepada
Viona, karena aku tahu Viona akan terus memaksaku sampai aku mengaku. Dan itu juga
salah satu kelebihan Viona, yaitu memaksa seseorang untuk menceritakan
rahasianya. Mungkin daripada Viona menjadi model, ia lebih cocok untuk menjadi
detektif.
Cowok
sinting yang sedari tadi di sekolah terus mengikutiku bernama Petir. Ia adalah
cowok paling menyebalkan dan yang paling suka mencampuri urusan orang lain.
Bertemu bahkan mengenalnya tidak pernah terpikir dalam benakku, bisa dibilang
semua itu karena kecelakaan.
Kesan
pertama saat kami bertemu sudah sangat tidak mengenakkan. Pada saat itu di
sekolah diadakan pesta malam perpisahan dan kenaikan kelas, disaat aku
mengambil minuman tiba-tiba ada seorang cowok yang berlari ke arahku kemudian
menyenggol minuman yang sedang aku pegang sehingga menumpahi gaun putihku.
Tanpa meminta maaf ia langsung pergi seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Kemudian disaat aku menuju kamar mandi untuk membersihkan gaunku, cowok itu
kembali menabrakku dan menginjak kakiku keras yang kemudian membuat hak sepatuku
patah. Setelah itu ia kembali pergi meninggalkanku yang masih terheran-heran
karena untuk kedua kalinya ia tidak meminta maaf atas kesalahan fatal yang
telah ia perbuat.
Yang
kedua, ternyata keesokan harinya sewaktu pembagian kelas aku harus sekelas
dengan cowok menyebalkan itu. Dan baru saja seminggu aku sekelas dengannya, ia
telah berani membuka buku catatanku yang berisi impianku untuk bertemu pangeran
impian yang muncul dari balik pelangi. Yang lebih parah, ia lalu menyebarkan
impianku itu kepada seluruh siswa di sekolahku, kemudian mulai saat itu ia
memanggilku dengan sebutan Princess Rainbow Wanna Be. Dan masih banyak lagi
kejahilan serta kesintingan yang ia lakukan untuk membuatku malu. Dan mulai
saat itu aku putuskan untuk tidak akan pernah berdamai atau bahkan berteman dengan
cowok sinting yang bernama Petir itu.
“Mungkin
si Petir suka sama elo Vi.” Ucap Viona tiba-tiba yang langsung membuatku kaget.
“Apa
sih maksud elo? Orang jelas-jelas dia itu pengen gue malu.” Bantahku.
“Ya
sekarang elo pikir deh, kenapa dia mau nemenin elo panas-panasan sambil hormat
ke bendera kalau bukan karena dia suka sama elo?” Jelas Viona.
“Mungkin
dia lagi cari perhatian sama guru-guru, biar dia dikira murid teladan sekaligus
setia kawan.”
“Bisa
jadi sih. Tapi coba elo pikir-pikir omongan gue soal Petir itu suka sama elo,
karena menurut gue alasan itu lebih masuk akal.”
“Ngapain
coba gue harus mikir soal cowok sinting itu. Mau dia suka sama gue atau nggak,
nggak bakalan gue hirauin juga kali.”
“Ya
terserah elo aja deh Vi. Yang jelas gue udah kasih tau elo, mau elo percaya
atau nggak.” Ucap Viona pasrah.
*****
Aku
melangkah menyusuri koridor dengan langkah berat, karena mataku masih sangat
berat untuk dibuka. Aku semalam memang tidak tidur, karena aku masih memikirkan
soal omongan Viona tentang Petir. Ditengah-tengah aku mengumpulkan segenap
kesadaranku, saat aku melewati segerombolan siswi, aku mendengar beberapa anak
berbicara bahwa aku dan Petir sedang berpacaran. Spontan, aku langsung tersadar
bahwa sepanjang koridor yang aku lewati tadi semua anak membicarakan soal kejadian
kemarin siang di kantin saat Petir menggandeng tanganku mesra. Disaat aku
merutuki kejadian kemarin dalam hati, tiba-tiba ada yang memanggilku.
“Viola!”
Serunya.
“Petir!”
Aku memekik tidak percaya.
Baru
saja aku akan melarikan diri, ia berhasil membaca gerakanku yang kemudian
meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Ia menarikku menuju taman belakang
sekolah. Aku meronta berusaha keras melepaskan diri. Namun semakin keras aku
berusaha, semakin keras pula Petir menggenggam tanganku. Akhirnya aku pun
pasrah, karena aku tahu saat ini aku hanya bisa menurut padanya. Kemudian ia
mengajakku duduk di salah tahu bangku di taman.
“Ngapain
sih elo ngajak gue kesini? Lepasin gue sekarang!” Bentakku. Namun Petir tidak
bereaksi. Ia malah terpaku menatapku lekat-lekat.
“Elo
kenapa sih? Lepasin gue!” Bentakku lagi seraya berusaha melepaskan genggaman
tangannya. Namun ia tetap tidak bereaksi. Petir malah menarikku menuju
dekapannya, ia memelukku erat. Dalam beberapa saat aku terpaku melihat apa yang
dilakukan Petir, aku pun larut dalam dekapannya. Aku merasakan ketenangan dan
kenyamanan dalam dekapan Petir. Kemudian Petir berbisik lirih di telingaku.
“Aku
sangat sayang kamu Vi. Dari dulu sampai hari ini” Ucap Petir. Saat itu aku
tersadar, dan aku kembali meronta untuk melepas pelukan Petir, namun kali ini
Petir membiarkan aku lepas dari pelukannya. Aku menatap mata Petir yang
ternyata baru saja menitikkan air mata. Aku heran melihat Petir seperti ini,
ada apa ini sebenarnya. Aku memutuskan untuk berlari menjauhi Petir dengan
berbagai pertanyaan berputar-putar dalam kepalaku. Sementara Petir masih diam
terpaku di tempatnya sambil matanya mengikuti arah kepergianku.
*****
Setelah
kejadian tadi pagi di taman belakang, aku lebih memilih untuk berdiam diri di
kelas untuk menghindari Petir. Aku takut kalau ternyata Petir sudah menyebarkan
kejadian tadi pagi kepada seluruh siswa di sekolah. Dan kalaupun aku bertemu
Petir aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apa mungkin aku masih
bisa bersikap biasa setelah apa yang dilakukan Petir terhadapku tadi pagi.
Diluar
perkiraanku, ternyata Petir tidak menyebarkan kejadian tadi pagi. Karena kalau
Petir sudah menyebarkannya, pasti Viona sudah bertanya yang macam-macam padaku.
Selain itu, setelah kejadian tadi pagi aku belum melihat batang hidung Petir
sama sekali. Entahlah, mungkin Petir merasa malu jikalau harus bertemu denganku
atau ia memang sengaja menghindariku agar aku tidak bisa mencaci makinya atas
apa yang telah ia lakukan padaku tadi pagi.
*****
Tiga bulan kemudian …
Hari
ini adalah hari yang paling aku tunggu, karena hari ini adalah pelaksanaan
lomba piano antar SMP se-propinsi. Aku merasa sangat gugup, karena untuk yang
pertama kalinya aku akan menunjukkan keahlian bermain pianoku dalam acara
sebesar ini. Papi, mami dan Viona telah duduk di kursi undangan untuk menunggu
giliranku tampil. Sesaat kemudian sang MC telah memanggil namaku untuk segera
naik ke atas panggung. Dengan perasaan bercampur aduk, aku mulai menaiki tangga
di belakang panggung. Aku duduk di depan piano yang akan aku mainkan dan aku
mulai menekan tuts-tuts piano dengan perlahan. Samar-samar aku mendengar suara
kekaguman penonton disela-sela konsentrasiku.
Permainan
pianoku pun ditutup dengan diiringi riuhnya tepuk tangan penonton yang membahana
di dalam gedung itu. Sebelum turun dari panggung, aku memberikan salam hormat
kepada para penonton dan juri. Aku juga sempat melihat kilatan bahagia
bercampur bangga dari wajah papi, mami serta Viona. Namun disaat aku melihat ke
arah penonton, sempat terselip rasa kecewa dalam benakku. Entah mengapa, tapi
aku merasa bahwa seseorang yang aku harapkan tidak hadir malam ini. Seseorang
yang tiga bulan lalu sempat berbisik lirih di telingaku, sebelum akhirnya ia
hilang entah kemana. Sesaat setelah kepergiannya, aku merasa ada yang hilang
dari hatiku. Sesuatu yang sangat kecil yang bahkan aku tidak tahu apa ini. Tapi
yang jelas, sesuatu yang sangat kecil ini telah mampu menggoyahkan benteng yang
selama ini aku bangun dengan kuat dan kokoh.
Akhirnya
pengumuman pemenang lomba pun dibacakan, meskipun aku belum bisa menjadi juara
pertama, tapi syukurlah aku bisa mendapat juara kedua. Dan yang paling penting
aku bangga karena juara kedua ini aku peroleh dengan hasil kerja kerasku selama
ini. Selain itu papi, mami serta Viona juga bangga denganku. Menurut papi menang
atau kalah dalam suatu perlombaan itu biasa, justru dalam mengikuti perlombaan
yang kita butuhkan itu bukan gelar juaranya melainkan pengalamannya.
*****
Sinar
mentari menyeruak memasuki kamarku melalui celah-celah kecil di antara tirai.
Pagi itu papi berangkat lebih pagi, jadi terpaksa aku dan Viona harus pergi ke
sekolah dengan menaiki angkutan umum. Aku dan Viona memutuskan untuk berangkat
lebih pagi, agar sewaktu nanti berada di dalam bus tidak harus
berdesak-desakan. Setiba kami di halte bus dekat sekolah, Viona menatapku
serius kemudian bertanya.
“Vi,
akhir-akhir ini kok elo murung sih?” Tanya Viona.
“Murung?
Prasaan elo aja kali.” Elakku
“Enggak
Vi, akhir-akhir ini elo emang murung. Ada apa sih? Apa gara-gara..” Viona
menggantung kalimatnya.
“Gara-gara
apa?”
“Gara-gara…
Petir kan?” Ucap Viona ragu-ragu.
“Ngaco
lo. Emang apa hubungan gue sama tu anak, sampek-sampek gue murung gara-gara
dia. Ihh, nggak banget deh Vio.” Elakku sambil berlalu meninggalkan Viona yang
berjalan pelan di belakangku.
Mulai
saat itu Viona berhenti bertanya soal alasanku menjadi murung. Tapi aku tau,
disaat Viona berubah pendiam seperti itu, pasti dia sedang melakukan observasi
dan merencanakan sesuatu. Oleh karena itu, akhir-akhir ini aku menjadi lebih
waspada pada Viona. Sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu alasanku menjadi
murung seperti ini. Apa mungkin yang dikatakan Viona itu benar? Aku murung
karena cowok tengil yang sangat menyebalkan itu? Tapi bagaimana mungkin itu
bisa terjadi? Aku rasa ini hanya karena aku kemarin gagal untuk menjadi juara
pertama dalam lomba piano antar SMP se-propinsi. Ya, semoga hanya karena itu
walau sebenarnya aku juga tidak yakin.
*****
Tidak
terasa sudah tiga tahun aku bersekolah di SMP Tunas Bangsa, dan hari ini adalah
hari wisuda sekaligus hari perpisahan. Viona baru saja selesai dirias, kini
saatnya aku yang akan dirias. Viona terlihat sangat cantik dan anggun dibalut
dengan kebaya putihnya. Kadang-kadang aku merasa iri dengan Viona yang selalu
terlihat cantik dan anggun dalam keadaan apapun, terutama hari ini. Untung saja
wajah kami berdua sama persis, jadi jika Viona cantik, otomatis aku juga pasti
cantik.
Aku
memasuki gedung wisuda dengan perasaan bercampur aduk. Antara senang karena aku
telah berhasil menyelesaikan ujian nasional dengan sukses, tapi disisi lain aku
juga sedih karena harus berpisah dengan teman-temanku. Tadi mami juga sempat
berkata padaku, memang sekarang rasanya sedih karena harus berpisah dengan
teman-teman yang sudah 3 tahun bersama kita, tapi toh di SMA kita juga akan
dapat teman-teman baru lagi, dan biasanya kebanyakan teman-teman SMA juga
teman-teman SMP kita kan.
Banyak
teman-temanku yang pangling melihatku, dari tadi mereka terus menyapaku dengan
sebutan Viona. Padahal jelas-jelas ini Viola bukan Viona, menyebalkan. Tapi
setelah aku melihat bayangan diriku di cermin toilet, memang saat ini aku
benar-benar sama persis dengan Viona. Bahkan aku sendiri tidak mengenali
bayangan siapa yang ada di cermin itu. Apakah itu benar-benar bayanganku? Gadis
belia yang selama ini selalu terlihat kusut dan dekil, tiba-tiba berubah
menjadi seorang putri yang anggun dan cantik jelita.
*****
Setelah
acara wisuda tadi pagi, malamnya dilanjutkan dengan acara perpisahan. Tapi
setelah wisuda selesai, kami diperkenankan untuk pulang dan berganti baju.
Malam ini aku dan Viona memakai dress yang sama, hanya saja warnanya yang
berbeda. Viona memilih warna merah hati, sementara aku memilih warna coklat
muda. Sebenarnya mami menyuruh kami untuk pergi ke salon, tapi karena waktu
yang sangat sempit, Viona memilih untuk merias diri sendiri. Sementara aku, ya
seperti yang kalian tahu kalau aku sama sekali tidak tahu menahu masalah rias
merias, jadi terpaksa aku harus menurut untuk dirias mami.
Viona
memilih untuk mengurai rambut panjangnya, dan ia nampak begitu, uhm mempesona.
Sementara mami memilih untuk mengikat ekor kuda rambutku. Sekarang aku tau
darimana Viona mendapat bakat rias merias, yaitu dari mamiku. Mami tersenyum
puas begitu melihat hasil riasannya. Riasan mami memang sederhana dan natural,
tapi bisa membuat aku terlihat lebih cantik dan mempesona pastinya. Begitu
selesai, aku dan Viona langsung berangkat menuju gedung perpisahan diantar oleh
supir pribadi keluarga kami, Pak Amir.
*****
Malam perpisahan
Suasana malam
perpisahan ini begitu ramai, semua siswa terlihat menikmati malam terakhir
bersama teman mereka masing-masing, salah satunya adalah aku. Setelah cukup
lama bercanda bersama teman-teman dan mulai merasa haus, aku memutuskan untuk
pergi mengambil minuman. Saat aku melewati taman belakang, ada sesuatu yang
menarik perhatianku. Disana tampak sebuah ayunan dengan dikelilingi hiasan
bunga mawar berwarna-warni. Tanpa kusadari, ternyata kakiku telah melangkah
menuju ayunan itu. Setelah aku semakin dekat dengan ayunan itu, aku baru sadar
ternyata hiasan bunga yang mengelilingi ayunan itu berbentuk love. Aku semakin
tertarik dengan pemandangan yang ada disekelilingku ini.
Aku duduk di
ayunan itu, kemudian mataku melihat ke arah langit. Tampak bulan bersinar
dengan terangnya diantara bintang-bintang kecil yang berkerlap-kerlip di
sekitarnya. Aku merasa jika semua yang aku lihat sekarang ini seperti pernah
aku rasakan, sejenis déjà vu. Tapi
ini terasa sangat nyata, seperti secuil memori yang sempat hilang dalam otakku,
namun tetap tersimpan rapat dalam benakku. Aku terus berusaha mengingat-ingat,
tapi lagi-lagi aku tidak berhasil mengingatnya. Disaat aku terus berusaha
mengingat-ingat, tiba-tiba sebuah suara berat yang sangat aku kenal dan yang
selama ini selalu aku rindukan memanggil namaku.
“Viola..” Ucapnya
lembut.
Aku menoleh.
Disaat aku melihat siapa pemilik suara itu, jantungku serasa berhenti berdetak,
nafasku seakan-akan tercekat, tapi aku juga bisa merasakan desir-desir bahagia
mengalir di dalam pembuluh darahku. Aku bingung serta terpaku menatap sosok
tinggi dan manis yang ada dihadapanku ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku
katakan setelah hampir setengah tahun berpisah dengannya, tapi aku tidak bisa
membohongi diriku sendiri bahwa aku sangat senang melihatnya kembali lagi
kesini, kembali lagi hadir di dalam hidupku, dan kembali lagi untuk menjawab
semua pertanyaan yang selama ini hanya mampu aku simpan di dalam benakku.
“Vi, kok elo
bengong? Elo nggak lupa siapa gue kan?” Tanyanya.
“Ehh enggak
enggak. Gue heran aja kenapa elo tiba-tiba ada disini.” Jawabku seraya terus
menatap sosok yang ada dihadapanku ini, yaitu Petir.
“Tumben lo nggak
sewot sama gue Vi.” Ucap Petir santai dengan menyunggingkan bagian atas
bibirnya.
“Lagi males.”
Jawabku singkat yang kemudian beralih memandang langit lagi.
“Vi, elo cantik
banget malam ini.” Pujinya.
“Apaan sih elo,
jangan gombal. Oh ya, selama ini elo kemana aja?” Tanyaku sambil menoleh ke
arahnya.
“Gue lagi
menenangkan diri. Soalnya gue nggak sanggup kalau harus tetap disini sementara
orang yang gue sayang nggak pernah sadar kalau gue sayang sama dia. Dianya
malah selalu jutek dan marah-marah mulu sama gue.” Jelasnya seraya menatap
lekat mataku dengan tatapan yang nanar. Tiba-tiba Petir mendekat ke arahku,
kemudian ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aku merasakan kehangatan
dalam genggaman tangan Petir. Kemudian Petir mengajakku untuk duduk di ayunan.
“Kamu suka nggak
sama hiasan bunga yang aku pasang di sekitar ayunan ini?” Tanya Petir dengan
mulai ber-aku-kamu.
“Oh jadi kejutan
ini dari kamu, makasih ya, aku suka banget. Tapi aku kayaknya udah pernah
ngerasain ini sebelumnya, tapi aku nggak inget kapan itu.” Jelasku sambil mengingat-ingat.
Tiba-tiba Petir menitikkan air mata, lalu memelukku erat. Aku bingung kenapa
ini? Aku jadi ingat kejadian di taman belakang sekolah 6 bulan yang lalu,
disaat Petir tiba-tiba memelukku dan menangis. Begitu Petir melepaskan
pelukannya, aku langsung meminta penjelasan darinya.
Akhirnya Petir
menjelaskan alasan atas sikap dan perlakuannya padaku selama ini. Ternyata aku
adalah teman masa kecil Petir yang telah hilang selama beberapa tahun, sampai
akhirnya sewaktu SMP takdir kembali mempertemukan kami. Sewaktu kecil, aku dan
Petir sangat suka bermain di ayunan dengan ditemani sinar bulan dan
kerlap-kerlip bintang. Petir juga suka memberikan aku rangkaian bunga yang
dibentuk mahkota atau kalung. Dan yang paling mencenangkan, Petir telah
mencintaiku semenjak kami masih kecil bahkan sampai saat ini. Petir selalu menganggap
bahwa aku adalah cinta pertama dan terakhirnya. Oleh karena itu, setelah ia
bertemu denganku kembali, rasanya ia sangat bahagia. Namun disisi lain ia juga
sedih, disaat ia tahu kalau aku amnesia setelah kecelakaan 11 tahun lalu yang
menyebabkan aku melupakan semua tentang dirinya dan kenangan indah kami dimasa
kecil.
“Vi, aku tau
ingatan kamu belum kembali. Tapi aku pasti akan membantu kamu buat mengingat
semua kenangan indah kita dimasa kecil dulu.” Ucapnya yakin.
“Makasih ya Petir,
maaf kalau selama ini aku sering jutek dan marah-marah sama kamu.” Ucapku
lirih.
“Iya, aku nggak
pernah marah sama kamu kok. Vi, ada satu hal yang belum aku tanyakan sama kamu.
Kamu mau enggak mewujudkan mimpiku, untuk menjadikan kamu cinta pertama dan
terakhirku?” Tanyanya ragu.
“Pasti Petir.
Sebenarnya aku juga sayang sama kamu, tapi atas dasar gengsi dan kebodohanku,
aku jadi sering menyangkal perasaanku sendiri.” Jawabku yakin.
“Makasih ya Vi, aku
bahagia banget.” Ucapnya seraya memelukku erat.
“Iya, aku juga
bahagia banget.” Jawabku dengan wajah yang bersemu merah.
Di bawah sinar
terang bulan dan kerlap-kerlip berjuta-juta bintang di langit, Petir
menenggelamkan aku dalam erat dekapannya, seakan ia tak ingin kehilangan aku
untuk yang kedua kalinya. Dan akhirnya kami berdua pun larut dalam suasana
hangat itu, melepaskan semua rindu yang selama ini membelenggu di dalam hati
kami berdua.
*TAMAT*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar