“Luna
udah jadian sama Karel, Nes!” Berulangkali kata-kata itu
terus terngiang dalam otakku. Aku masih belum bisa mencerna sepenuhnya
kata-kata itu. Semuanya terjadi begitu indah, tiba-tiba saja semua itu berubah
180o menjadi mimpi buruk. Baru seminggu lalu aku merasa begitu dekat
dengan Karel, bahkan aku merasa bahwa aku telah berhasil melunakkan kekakuan
hati Karel. Karel menjadi jauh lebih ramah dan ia mulai menunjukkan tanda
kedekatannya denganku.
Karel berhasil membangkitkan rasa yang
selama ini telah aku simpan rapat, ia memberikanku harapan untuk bangkit lagi.
Senyumnya, wajahnya, tindak lakunya, kata-katanya, dan yang paling aku suka
ketika aku menatap matanya. Aku melihat kehangatan terpancar jelas dari tatapan
dalamnya itu. Tatapan yang selalu berhasil membuat hati ini bergetar. Tapi
untuk saat ini aku melihat kehangatan itu telah sirna dalam tatapan mata Karel,
tatapan itu kini telah berubah dengan tatapan yang menusuk. Cahayanya itu telah
redup, begitu juga dengan hati dan rasaku ini.
Berulangkali aku harus merasakan apa itu
namanya sakit hati. Namun baru kali ini aku benar-benar merasa kehilangan.
Entah apa sebabnya, tapi aku merasa Karel begitu berharga, ia sangat pantas
untuk diperjuangkan, dan sangat berat untuk dilepas apalagi dilupakan. Walau
aku tau saat ini dalam hati Karel telah terisi dengan Luna, namun aku yakin
bahwa sempat terselip namaku dalam hatinya. Aku yakin bahwa perhatian yang
Karel berikan padaku selama ini bukanlah perhatian terhadap teman, perhatian
itu lebih dari teman.
“Nes, ngelamun aja. Awas kesambet lo!” Suara
cempreng Fraya membuyarkan lamunanku.
“Eh eh, apaan sih elo itu Fray. Ganggu
ketenangan gue aja!” Protesku.
“Udahlah Nes, cowok di bumi ini bukan cuma
Karel. Putus satu, tumbuh seribu.” Sahut Tere menyemangatiku.
“Tenang aja Ter, gue udah ikhlas kok. Gue
kan strong.” Jawabku yakin.
“Nah itu baru sahabat gue. Udah bel tuh,
masuk kelas yuk!” Ajak Fraya.
*****
Pagi ini aku berangkat sekolah dengan
suasana hati yang jauh lebih baik daripada kemarin. Namun keceriaanku seketika
musnah, ketika aku memasuki gerbang sekolah tanpa sengaja melihat Luna turun
dari boncengan motor Karel. Hatiku sakit sekali, tapi aku tau aku tidak punya
hak untuk sakit hati. Toh belum tentu Karel peduli denganku.
Aku berjalan gontai menuju kelas, rasanya
tenagaku terkuras habis hanya untuk menahan sakit hatiku saat melihat Luna dan
Karel begitu mesra. Memang awalnya begitu sakit, tapi aku yakin kalau aku pasti
bisa melewati masa-masa sulit ini. Di ujung koridor kedua sahabatku telah
menunggu dengan senyum terukir diwajah mereka. Aku tahu mereka mencoba
menghiburku setelah mereka tahu aku baru saja melihat Karel dan Luna berangkat
sekolah bersama.
“Nes, elo nggak apa-apa kan?” Tanya Fraya
cemas.
“Nggak apa-apa kok, cuma sedikit unmood
aja.” Jawabku.
“Tapi elo kelihatan pucet banget Nes.” Sahut
Tere seraya memegang dahiku.
“Enggak kok, beneran. Udah ah, kalian nggak
usah khawatir gitu.” Ucapku berusaha meyakinkan mereka.
“Yaudah deh, tapi kalau ada apa-apa bilang
ya Nes.” Tegas Tere.
“Siap bu bos.” Jawabku seraya memberi hormat
ke arah Tere.
Dan setelah itu pun kami tertawa bersama,
tawa yang menurutku begitu lepas semenjak aku berubah menjadi murung akibat
Karel dan Luna berpacaran. Inilah yang membuatku merasa orang paling beruntung
karena memiliki sahabat seperti mereka. Mereka selalu mampu merubah suasana
hatiku yang tadinya begitu buram menjadi jauh lebih baik lagi.
*****
Dinginnya udara malam terasa begitu menusuk
tulang-tulangku. Aroma tanah selepas diguyur hujan seperti ini adalah aroma yang sangat aku
suka. Entah karena memiliki banyak kenangan untukku, atau karena sebab yang
lain. Tiba-tiba ponselku bergetar tanda adanya pesan masuk membuyarkan
lamunanku. Aku melihat nama Karel muncul di layar ponsel. Ada rasa kaget bercampur
senang muncul dalam benakku, karena terakhir kali aku menerima pesan dari Karel
adalah tepat seminggu yang lalu. Aku sudah tidak sabar untuk melihat pesan
singkat apa yang Karel kirim untukku. Apakah Karel ingin meminta maaf karena
telah membuatku kecewa? Entahlah, Karel memang selalu sulit untuk ditebak.
“Nes, besok plg sekolah ikut aku ke café langganan
kita. Ada yg mau aku omongin, penting.”
“Oke. Besok aku tunggu di gerbang selatan.”
“Y.”
Balasan Karel itu pun mengakhiri percakapan
singkat kami, memang terlihat sangat angkuh dan seperti baru saja mengenal. Bahkan
aku pun merasa heran, tadinya aku dan Karel sangatlah dekat, tapi memang
akhir-akhir ini hubungan kami sangat renggang, bahkan bisa dikatakan hampir
bermusuhan. Sementara aku juga tidak tahu sebab pasti akan renggangnya hubungan
kami.
*****
Sepanjang perjalanan dari sekolah sampai
setiba kami di café tidak ada satu kata pun terlontar dari mulut kami berdua, suasananya
terasa begitu hening. Begitu memasuki café, Karel memilih tempat duduk yang
berada di pojok belakang dekat jendela. Tanpa basa-basi Karel langsung memesan
dua moccafloat untuk kami berdua. Untuk beberapa saat keadaan masih sangatlah
hening, sampai akhirnya Karel membuka percakapan.
“Udah lama ya kita nggak main kesini.”
Katanya sambil menerawang.
“Baru juga sekitar seminggu yang lalu, gue
juga kemarin baru aja dari sini sama Tere.” Sahutku dengan nada yang sedikit
sinis.
“Kok gak ngajak-ngajak? Biasanya kan kita
main kesini bareng.” Protes Karel.
“Lo-nya aja yang sibuk sama pacar baru lo
itu. Sampai nggak tau gue sama yang lain habis dari sini.” Jawabku ketus.
“Hei hei woles bro, kenapa lo jadi nyolot
gitu? Gue ngerasa lo sekarang berubah banget, lo bukan Nesya yang gue kenal.”
Jawab Karel.
“Hah gue yang berubah? Bukannya lo sekarang
yang berubah? Lo udah nggak asik kayak dulu lagi. Sekarang lo lebih sibuk
ngurusin pacar baru lo itu. Lo udah kayak nggak butuh temen lagi. Kayak orang
hebat yang bisa hidup sendiri!” Jawabku dengan muka merah padam dengan nada yang
semakin tinggi.
“Nes, lo kesambet setan apa si kok jadi
marah-marah gini? Gini deh sekarang lo cerita masalahnya apa. Biar gue juga
tahu apa salah gue sampai-sampai lo marah gini.” Ucap Karel berusaha
menenangkanku.
“Salah lo adalah kenapa lo harus pacaran
sama Luna? Padahal ada cewek lain yang jauh lebih tulus sayang sama lo, dan
cewek ini udah nunggu lo daridulu. Tapi dengan gampangnya lo ninggalin cewek
ini dan jadian sama Luna. Apa lo nggak mikir gimana perasaan cewek ini tadi
hah?” Jawabku dengan emosi semakin meluap-luap.
“Hah emang siapa cewek yang sayang sama gue
selain Luna itu? Gue bener-bener nggak ngerti maksud lo Nes.” Ucap Karel
bingung.
Sebelum aku menjawab pertanyaan Karel itu,
aku mengambil nafas yang sangat panjang. Dan dengan segenap keberanianku, aku
berusaha untuk mengungkapkannya saat itu juga.
“Rel, apa lo nggak sadar kalau cewek itu
gue? Gue adalah cewek yang sayang sama lo. Gue adalah cewek yang udah nunggu lo
daridulu. Dan gue sakit hati banget waktu tahu lo jadian sama Luna.” Jelasku
dengan air mata yang mulai mengalir deras di pipiku.
“Hah? Nes gue bener-bener minta maaf, gue
nggak pernah tahu kalau lo sayang sama gue lebih dari temen. Tapi jujur, gue
juga sayang banget sama lo sebagai temen dan gue nggak pingin lihat lo nangis
gini.” Jelas Karel kemudian menghapus air mata yang mengalir deras di pipiku.
“Huft, sekarang gue lega banget udah bilang
ini sama lo Rel, gue berharap kejujuran gue ini nggak akan ngerusak pertemanan
kita.” Jawabku lemas.
“Iya Nes, sekali lagi gue minta maaf sama
lo. Gue sayang banget sama lo dan Luna. Gue sama-sama nggak mau kehilangan
kalian berdua. Maaf kalau gue cuma bisa jadi temen terbaik lo, nggak lebih.”
Dalam nada bicara Karel, terlihat bahwa Karel merasa sangat bersalah atas apa
yang terjadi padaku.
“Iya Rel, lo nggak salah. Cinta kan emang
nggak bisa dipaksa, memang takdirnya udah begini ya kita mau gimana lagi. Yang penting
sekarang lo udah tau gimana perasaan gue yang sebenernya sama lo.” Jelasku.
Tiba-tiba Karel berdiri lalu memelukku erat.
Aku merasakan damai dan nyaman dalam pelukan Karel ini. Ya, aku dan Karel
memang saling menyayangi walaupun rasa sayang itu berbeda. Tapi perbedaan itulah
yang justru saling melengkapi rasa sayang yang kami miliki saat ini.
Mulai hari itu hubunganku dengan Karel
kembali membaik seperti dulu, bahkan aku sekarang menjadi lebih akrab dengan
Luna. Walau terkadang masih ada rasa sakit yang menyelip ketika aku melihat
Karel dan Luna bersama, tapi aku sudah bertekad untuk mengubur dalam-dalam
rasaku ini. Karena aku tidak ingin merusak kebahagiaan yang sedang Karel
nikmati saat ini. Semoga aku bisa menemukan sosok pengganti Karel yang pasti
harus jauh lebih baik.
*TAMAT*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar